BAHAN H.T.U.B.N.
21 September 2013 at 17:21
Menunggu Percepatan Pengesahan RUU Administrasi Pemerintahan
Oleh: Enrico Simanjuntak *)
Di antara semua produk hukum yang paling dibutuhkan saat ini, UU Administrasi Pemerintahan (AP) merupakan instrumen paling strategis dan signifikan untuk menjawab kebutuhan pembaharuan masyarakat dan birokrasi.
…”there are more corruption cases than penal law court decisions on corruption;
the administrative law approach in corruption policy was underestimated for a long time”.
(G.H. Addink & J.B.J.M. ten Berge, 2007).
Setelah hampir 66 tahun merdeka, Indonesia belum memiliki perangkat hukum khusus untuk mengatur proses penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang dijalankan melalui mekanisme aktivitas birokrasi yang secara substansial sering diformulasikan dalam Undang-Undang (UU) Prosedur Administrasi. Spanyol merupakan negara pertama di dunia yang membentuk UU semacam ini yakni dengan disahkannya Azcárate Law pada tanggal 19 Oktober 1889, selanjutnya disusul oleh sejumlah negara lain seperti Austria (1925), Amerika Serikat (1948), Hungaria (1957), Polandia (1960), Jerman (1976) dsb.
Legalisasi prosedur administrasi bukanlah sebagai pengekangan terhadap sikap tindak administrasi negara melainkan sebagai panduan bertindak dalam menjalankan tugas dan fungsi yang diamanatkan kepadanya. Di situlah esensi asas legalitas sebagai ciri ketiga negara hukum modern yakni bahwa keabsahan dan kemanfaatan setiap keputusan pemerintah dapat dilihat dari cara terjadinya, dan dari proses penyusunannya. Merespon kekosongan aturan hukum tersebut, atas prakarsa dan terobosan MENPAN Kabinet Indonesia Bersatu I, Taufiq Effendi, pada 2004 mulai disusun sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur dan memuat prosedur umum dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, khususnya dalam pembuatan keputusan pemerintahan.
Proses panjang dan berliku
Hampir sewindu sudah proses perjalanan penyusunan RUU-AP. Pembahasannya masih terus berlanjut, terakhir sedang ditelaah oleh para Kepala Daerah dalam Asosiasi Gubernur se-Indonesia, selanjutnya akan diteruskan kepada para Bupati/Walikota(Forum Keadilan Edisi 3 April 2011). Guna menampung masukan dari berbagai kalangan, perubahan draf materi RUU-AP telah terjadi belasan kali, dan antara tahun 2007 dan 2011, sudah dua kali dibahas dalam rapat kabinet terbatas di Istana Negara, termasuk dua kali dinominasikan masuk daftar prolegnas di Senayan, tahun ini berada pada urutan ke-62 dari 71 RUU yang ditargetkan untuk disahkan.
Sehubungan dengan rencana kerja pemerintah selama tahun berjalan ini, dimana agenda Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola ditempatkan sebagai prioritas pertama perhatian pemerintah, maka sebenarnya pengesahan RUU-AP menjadi sangat relevan dan dibutuhkan guna menunjang terwujudnya rencana kerja pemerintah tersebut. Apakah penyebab lambannya RUU ini disahkan?
Dari segi muatannya, konstruksi RUU AP tidaklah diarahkan untuk sampai mengatur hal-hal yang bersifat teknis-operasional, melainkan difokuskan ke sejumlah point pokok atau ketentuan umum (algemene norm), yang bersifat mendasar dan mendesak. Antara lain seperti isu bagaimana kebebasan bertindak aparatur pemerintah (diskresi), soal larangan konflik kepentingan (conflict of interest), penyalahgunaan wewenang (abuse of power), syarat pembuatan keputusan, penegasan sumber kewenangan dll. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa materi yang telah digarap selama ini, telah menyediakan fondasi menuju transformasi tata kepemerintahan. Apabila materi yang ada sekarang setelah disahkan dinilai masih belum optimal tentu kemudian dapat dilakukan maksimalisasi melalui penyesuaian lebih lanjut baik melalui perubahan maupun pengaturan lebih lanjut dalam aturan-aturan yang bersifat sektoral, sebagaimana dipraktekan sejumlah negara yang sudah lebih dulu mengenal legislasi semacam ini.
Ambil contoh Belanda, untuk memperbaharui Wet AROB menjadi AWB (Algemene wet bestuursrecht/General Administrative Law Act), dilakukan secara bertahap: antara tahun 1994, 1998 dan 1999 dst. Sehingga point utamanya di sini adalah bagaimana menjawab kekosongan UU AP dulu. Dikuatirkan apabila semakin lama ditunda, seiring bergulirnya waktu, maka konsep yang sudah disusun akan terancam maju-mundur, tak pelak risikonya adalah kondisi yang hendak diperbaiki justru akan lebih sulit untuk ditangani. Nasib RUU KUHP yang terkatung-katung sejak dua dasawarsa silam setidaknya mencontohkan kasus tersebut. Memang, sejumlah kebijakan perundang-undangan lain maupun berbagai produk hukum yang terkait di bidang penataan birokrasi juga, tidaklah sedikit jumlahnya yang telah diupayakan terutama oleh Pemerintah. Terlebih lagi bila dihubungkan dengan kehadiran UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Pelayanan Publik, UU Ombudsman RI maupun kebijakan lainnya, namun kendati begitu bukanlah berarti pengesahan RUU-AP telah kehilangan urgensinya. Di antara semua produk hukum yang paling dibutuhkan saat ini, UU AP merupakan instrumen paling strategis dan signifikan untuk menjawab kebutuhan pembaharuan masyarakat dan birokrasi (law as a tool of social and bureucratic engineering).
Bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan materi RUU-AP pada dasarnya merupakan perwujudan inti dari hakikat hukum administrasi negara yaitu untuk memungkinkan aparatur pemerintah menjalankan fungsinya serta melindungi warga dari sikap tindak aparatur tersebut dan sekaligus untuk melindungi aparatur pemerintah itu sendiri.
Urgensi percepatan pengesahan
Patut menjadi perhatian semua pihak, bahwa birokrasi di sektor publik merupakan kekuatan yang besar sekali. Rentang kegiatannya menyentuh dan mempengaruhi berbagai sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sejalan dengan itu, gagalnya upaya untuk membenahi birokrasi akan berdampak luas pada nasib rakyat maupun tujuan bernegara itu sendiri. Pada titik ini, korupsi masih menjadi momok yang mengganggu kualitas birokrasi di segala sektor publik. Bahkan, separuh dari jumlah kepala Daerah dikabarkan tersangkut kasus korupsi atau setidaknya telah dijatuhi hukuman pidana. Angka tersebut tentu sangat mencolok dan memprihatinkan, apalagi di balik angka tersebut dapat diduga tabir gelap lain (the truth behind the cover-up), ibarat fenomena gunung es: korupsi yang tergolong perbuatan mal-administrasi cenderung lebih banyak yang tertutupi, dapat dirasakan tapi sulit dibuktikan.
Dalam konteks instrumen hukum tentang pencegahan tipikor maupun aneka macam penyimpangan hukum lain yang terkait, tentu bukanlah tugas hukum pidana semata, tetapi juga didalamnya terdapat aspek penting dari hukum administrasi yang berkaitan dengan proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik pada umumnya. Di sisi lain, polemik akademis atau judisial seputar titik singgung antara hukum administrasi dan pidana dalam soal pemberantasan korupsi diharapkan mampu semakin dikelola lebih konstruktif pasca pengesahan RUU ini nanti. Dalam bahasa yang paling sederhana, kelak keberadaan UU AP akan mengisi fungsi preventif dari pencegahan korupsi yang menjadi domain hukum administrasi, melengkapi pendekatan pidana yang bersifat represif.
Pada saat pengukuhannya sebagai Guru Besar di UI, pakar hukum Administrasi, Prof Safri Nugraha menyatakan bahwa selama ini para pejabat dan petugas administrasi negara di Indonesia lebih banyak menjalankan tugasnya pada kebiasaan-kebiasaan dan bukan pada hukum positif yang mengatur administrasi negara. Adalah suatu ironi, bahkan absurditas, apabila di sebuah negara hukum praktik administrasi negara justru didasarkan pada dominasi kebiasaan (bussiness as usual). Karena dalam praktik administrasi semacam itu akan tumbuh subur bureaucratic click dan patron client relationship, yaitu penyelesaian persoalan di dalam dan di luar kantor melalui cara-cara yang tidak legal-formal, yang sangat rawan penyimpangan, penyalahgunaan jabatan serta beragam perbuatan tercela lain atau mal administrasi.
Untuk itulah diperlukan kerangka hukum yang jelas dan tegas yang mengatur bagaimana para aparatur negara/pemerintah bertindak, sebagaimana diupayakan oleh materi RUU-AP ini, agar terbangun prinsip legal rational impersonal, sehingga setiap interaksi dan persoalan di kantor/kedinasan diselesaikan menurut hukum yang didesain khusus untuk itu, sebagaimana ciri birokrasi ala Weber di negara-negara maju, dimana tata birokratisasi merupakan proses rasionalisasi prosedur pemerintahan dan aparat administrasi negara. Pada posisi itu pula peran dan kontribusi peradilan tata usaha negara (administrative court) sangat strategis dan signifikan, baik sebagai jembatan hukum antara pemerintah (administration) dengan warga masyarakat (citizen) maupun sebagai the guardian of the rule of law and good governance.
Dalam rangka pembenahan administrasi sektor publik itulah, sedari awal para pihak yang concern dan terlibat dalam penggodokan RUU-AP, sudah merekomendasikan perlunya RUU-AP disahkan sebagai hukum materiil, dan menjadi kesatuan sistem dengan perubahan UU. PERATUN. Sayang, rekomendasi tersebut sampai sekarang belum terwujud, masih menunggu komitmen dan konsistensi politik hukum para pembuat undang-undang.
Memang, perjalanan masih jauh untuk ditempuh, semoga tidak serasa menunggu Godot dalam lakon drama Samuel Beckket yang termasyhur itu, karena jika demikian, maka dalil Montesquieu akan menjadi kenyataan: ”Useless laws weaken necessary laws”.
*Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Palu, Sulawesi Tengah
(Pendapat pribadi)
Jakarta, 21 September 2013 M.Muhammad Abudan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Nama :
Pendidikan :